Jumat, 01 Januari 2010

DAMPAK GLOBALISASI TERHADAP DUNIA PENDIDIKAN DI INDONESIA

DAMPAK GLOBALISASI

TERHADAP DUNIA PENDIDIKAN DI INDONESIA

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah

Bahasa Indonesia Keilmuan

yang dibina oleh Bapak Drs. Sunoto M. Pd.

OLEH

FINA FAIZAH

108231410612


UNIVERSITAS NEGERI MALANG

FAKULTAS SASTRA

JURUSAN SASTRA ARAB

NOVEMBER 2009

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah. Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia (Edison A. Jamli, 2005). Proses globalisasi berlangsung melalui dua dimensi, yaitu dimensi ruang dan waktu. Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, dan terutama pada bidang pendidikan. Teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi. Dewasa ini, teknologi informasi dan komunikasi berkembang pesat dengan berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar luas ke seluruh dunia. Oleh karena itu globalisasi tidak dapat dihindari kehadirannya, terutama dalam bidang pendidikan.

Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan negatif, pengaruh globalisasi meliputi segala aspek kehidupan terutama pada masalah pendidikan di Indonesia. Ada dua isu kritis yang perlu kita sikapi sehubungan dengan perspektif globalisasi dalam kebijakan pendidikan di Indonesia yaitu: siapkah dunia pendidikan Indonesia menghadapi globalisasi?dan bagaimanakah cara penyesuian pendidikan Indonesia di era globalisasi sekarang ini?. Oleh sebab itu untuk melawan globalisasi terutama dalam pendidikan, kita harus bisa menjaga eksistensi sekolah. Demikianlah, semoga kita dapat mengarungi derasnya gelombang globalisasi dan kita tidak tenggelam dalam gelombang itu.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa dampak globalisasi dalam dunia pendidikan?.

2. Bagaimana perkembangan globalisasi pada saat ini?.

3. Seperti apa pendidikan di Indonesia saat ini?.

4. Bagaimana cara penyesuaian pendidikan Indonesia di era globalisasi sekarang ini?.

1.3 Tujuan Penulisan

1. Bagi Penulis

Disusun untuk memenuhi tugas yang diberikan dosen dalam mata kuliah Bahasa Indonesia Keilmuan.

2. Bagi Pembaca

Makalah ini dimaksudkan untuk membahas dampak globalisasi terhadap dunia pendidikan di Indonesia.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Globalisasi

Globalisasi telah menjadi sebuah kata yang memiliki makna tersendiri yang seringkali kita baca dan dengar. Banyak pengguna istilah globalisasi memahaminya berbeda dari makna yang sesungguhnya. Realitas semacam ini bisa diterima mengingat tidak ada definisi yang tunggal terhadap globalisasi.

R. Robertson (1992:8) misalnya, merumuskan globalisasi sebagai: "... the compression of the world and the intensification of consciousness of the world as a whole."

P. Kotter (1995:42) mendeskripsikan globalisasi sebagai, "...the product of many forces, some of which are political (no major was since 1945), some of which are technological (faster and cheaper transportation and communication), and some of which are economic (mature firms seeking growth outside their national boundaries)."

Tetapi, dalam tulisan ini kita cenderung mengutip pendapat J.A. Scholte (2002:15-17) yang menyimpulkan bahwa setidaknya ada lima kategori pengertian globalisasi yang umum ditemukan dalam literatur. Kelima kategori definisi tersebut berkaitan satu sama lain dan kadangkala saling tumpang-tindih, namun masing-masing mengandung unsur yang khas.

1. Globalisasi sebagai internasionalisasi

Dengan pemahaman ini, globalisasi dipandang sekedar `sebuah kata sifat (adjective) untuk menggambarkan hubungan antar-batas dari berbagai negara'. la menggambarkan pertumbuhan dalam pertukaran dan interdependensi internasional. Semakin besar volume perdagangan dan investasi modal, maka ekonomi antar-negara semakin terintegrasi menuju ekonomi global di mana `ekonomi nasional yang distingtif dilesap dan diartikulasikan kembali ke dalam suatu sistem melalui proses dan kesepakatan internasional'.

2. Globalisasi sebagai liberalisasi

Dalam pengertian ini, “globalisasi” merujuk pada sebuah proses penghapusan hambatan-­hambatan yang dibuat oleh pemerintah terhadap mobilitas antar negara untuk menciptakan sebuah ekonomi dunia yang terbuka dan tanpa-batas. Mereka yang berpendapat pentingnya menghapus hambatan-hambatan perdagangan dan kontrol modal biasanya berlindung di balik mantel globalisasi.

3. Globalisasi sebagai universalisasi

Dalam konsep ini, kata global digunakan dengan pemahaman bahwa proses mendunia dan globalisasi merupakan proses penyebaran berbagai objek dan pengalaman kepada semua orang ke seluruh penjuru dunia. Contoh klasik dari konsep ini adalah penyebaran teknologi komputer, televisi, internet, dll.

4. Globalisasi sebagai westernisasi atau modernisasi (lebih dalam bentuk yang Americanised)

Globalisasi dalam konteks ini dipahami sebagai sebuah dinamika, di mana struktur-struktur sosial modernitas (kapitalisme, rasionalisme, industrialisme, birokratisme, dsb.) disebarkan ke seluruh penjuru dunia, yang dalam prosesnya cenderung merusak budaya setempat yang telah mapan serta merampas hak self-determination rakyat setempat.

5. Globalisasi sebagai penghapusan batas-batas teritorial (atau sebagai persebaran supra-teritorialitas)

Globalisasi mendorong rekonfigurasi geografis, sehingga ruang-sosial tidak lagi semata dipetakan dengan kawasan teritorial, jarak teritorial, dan batas-batas teritorial. Dalam konteks ini, globalisasi juga dipahami sebagai sebuah proses (atau serangkaian proses) yang melahirkan sebuah transformasi dalam spatial organisation dari hubungan sosial dan transaksi-ditinjau dari segi ekstensitas, intensitas, kecepatan dan dampaknya yang memutar mobilitas antar-benua atau antar-regional serta jaringan aktivitas.

Globalisasi bisa dianggap sebagai penyebaran dan intensifikasi dari hubungan ekonomi, sosial, dan kultural yang menembus sekat-sekat geografis ruang dan waktu. Dengan demikian, globalisasi hampir melingkupi semua hal yang berkaitan dengan ekonomi, politik, kemajuan teknologi, informasi, komunikasi, transportasi, dll.

      Perkembangan dunia pendidikan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perkembangan globalisasi, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Era pasar bebas juga merupakan tantangan bagi dunia pendidikan Indonesia, karena terbuka peluang lembaga pendidikan dan tenaga pendidik dari mancanegara masuk ke Indonesia. Untuk menghadapi pasar global maka kebijakan pendidikan nasional harus dapat meningkatkan mutu pendidikan, baik akademik maupun non-akademik, dan memperbaiki manajemen pendidikan agar lebih produktif dan efisien serta memberikan akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan. 
      Ketidaksiapan bangsa kita dalam mencetak SDM yang berkualitas dan bermoral yang dipersiapkan untuk terlibat dan berkiprah dalam kancah globalisasi, menimbulkan dampak negatif yang tidak sedikit jumlahnya bagi masyarakat. Paling tidak, ada tiga dampak negatif yang akan terjadi dalam dunia pendidikan kita. Pertama, dunia pendidikan akan menjadi objek komoditas dan komersil seiring dengan kuatnya hembusan paham neoliberalisme yang melanda dunia. Paradigma dalam dunia komersial adalah usaha mencari pasar baru dan memperluas bentuk-bentuk usaha secara terus-menerus. Globalisasi mampu memaksa liberalisasi berbagai sektor yang dulunya non-komersial menjadi komoditas dalam pasaar yang baru. Tidak heran apabila sekolah masih membebani orang tua murid dengan sejumlah anggaran berlabel uang komite atau uang sumbangan pengembangan institusi meskipun pemerintah sudah menyediakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
      Kedua, mulai longgarnya kekuatan kontrol pendidikan oleh negara. Tuntutan untuk berkompetisi dan tekanan institusi global, seperti IMF dan World Bank, mau atau tidak, membuat dunia politik dan pembuat kebijakan harus berkompromi untuk melakukan perubahan. Lahirnya UUD 1945 yang telah diamandemenkan, UU Sisidiknas, dan PP 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) setidaknya telah membawa perubahan paradigma pendidikan dari coraksentralistis menjadi desentralistis.
      Ketiga, globalisasi akan mendorong delokasi dan perubahan teknologi dan orientasi pendidikan. Pemanfaatan teknologi baru, seperti computer dan internet, telah membawa perubahan yang sangat revolusioner dalam dunia pendidikan yang tradisional. Pemanfaatan multimedia yang portable dan menarik sudah menjadi pemandangan yang biasa dalam praktik pembelajaran di dunia persekolahan kita. Di sinilah bahwa pendidikan menjadi agenda prioritas kebangsaan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi untuk diperbaiki seoptimal mungkin.
 
2.2 Keadaan Buruk Pendidikan di Indonesia
2.2.1 Paradigma Pendidikan Nasional yang Sekular-Materialistik
      Diakui atau tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini adalah sistem pendidikan yang sekular-materialstik. Hal ini dapat terlihat antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang, dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi : Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, kagamaan, dan khusus dari pasal ini tampak jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Sistem pendidikan dikotomis semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia yang sholeh yang berkepribadian sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi. Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan tampak pada pendidikan agama melalui madrasah, institusi agama, dan pesantren yang dikelola oleh Departemen Agama; sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, kejurusan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) dilakukan oleh Depdiknas dan dipandang sebagai tidak berhubungan dengan agama. Pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius. Agama ditempatkan sekadar salah satu aspek yang perannya sangat minimal, bukan menjadi landasan seluruh aspek. 
      Pendidikan yang sekular-materialistik ini memang bisa melahirkan orang yang menguasai sains-teknologi melalui pendidikan umum yang diikutinya. Akan tetapi, pendidikan semacam itu terbukti gagal membentuk kepribadian peserta didik dan penguasaan ilmu agama. Banyak lulusan pendidikan umum yang ‘buta agama’ dan rapuh kepribadiannya. Sebaliknya, mereka yang belajar di lingkungan pendidikan agama memang menguasai ilmu agama dan kepribadiannya pun bagus, tetapi buta dari segi sains dan teknologi. Sehingga, sektor-sektor modern diisi orang-orang awam. Sedang yang mengerti agama membuat dunianya sendiri, karena tidak mampu terjun ke sektor modern.
 
2.2.2 Mahalnya Biaya Pendidikan
      Pendidikan bermutu itu mahal, itulah kalimat yang sering terlontar di kalangan masyarakat. Mereka menganggap begitu mahalnya biaya untuk mengenyam pendidikan yang bermutu. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) sampai Perguruan Tinggi membuat masyarakat miskin memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), dimana di Indonesia dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, komite sekolah yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah komite sekolah terbentuk, segala pungutan disodorkan kepada wali murid sesuai keputusan komite sekolah. Namun dalam penggunaan dana, tidak transparan. Karena komite sekolah adalah orang-orang dekat kepada sekolah.
      Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melempar tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. 
      Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sector yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
      Koordinator LSM Education network foa Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersalialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara kaya dan miskin.
      Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya?. Kewajiban Pemerintahlah untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataan Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
Fandi achmad (Jawa Pos, 2/6/2007) menjelaskan sebagai berikut.

Mencermati konteks pendidikan dalam praktik seperti itu, tujuan pendidikan menjadi bergeser. Awalnya, pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan tidak membeda-bedakan kelas sosial. Pendidikan adalah untuk semua. Namun, pendidikan kemudian menjadi perdagangan bebas (free trade).

Tesis akhirnya, bila sekolah selalu mengadakan drama tahun ajaran masuk sekolah dengan bentuk pendidikan diskriminatif sedemikian itu, pendidikan justru tidak bisa mencerdaskan bangsa. Ia diperalat untuk mengeruk habis uang rakyat demi kepentingan pribadi maupun golongan per se.

 
2.2.3 Kualitas SDM yang Rendah
      Akibat paradigma pendidikan nasional yang sekular-materialistik, kualitas kepribadian anak didik di Indonesia semakin memprihatinkan. Dari sisi keahlian pun sangat jauh jika dibandingkan dengan Negara lain. Jika dibandingkan dengan India, sebuah Negara dengan segudang masalah (kemiskinan, kurang gizi, pendidikan yang rendah), ternyata kualitas SDM Indonesia sangat jauh tertinggal. India dapat menghasilkan kualitas SDM yang mencengangkan. Jika Indonesia masih dibayang-bayangi pengusiran dan pemerkosaan tenaga kerja tak terdidik yang dikirim ke luar negeri, banyak orang India mendapat posisi bergengsi di pasar Internasional. 

Di samping kualitas SDM yang rendah juga disebabkan di beberapa daerah di Indonesia masih kekurangan guru, dan ini perlu segera diantisipasi. Tabel 1. berikut menjelaskan tentang kekurangan guru, untuk tingkat TK, SD, SMP dan SMU maupun SMK untuk tahun 2004 dan 2005. Total kita masih membutuhkan sekitar 218.000 guru tambahan, dan ini menjadi tugas utama dari lembaga pendidikan keguruan.

2004

2005

KEBUTUHAN

KEBUTUHAN

PENSIUN

KEBUTUHAN

PENSIUN

TK

893

187

1,080

260

1,340

SD

63,144

20,399

83,543

23,918

107,461

SMP

57,537

4,707

62,244

6,270

68,514

SMU

26,120

1,498

27,618

1,685

29,303

SMK

9,972

1,073

11,045

1,175

12,220

TOTAL

157,666

27,864

185,530

33,308

218,838

Tabel 1. Kekurangan guru untuk Tahun 2004 dan 2005

(Sumber Data: Direktorat Tenaga Kependidikan, 2004)

Dalam menghadapi era globalisasi, kita tidak hanya membutuhkan sumber daya manusia dengan latar belakang pendidikan formal yang baik, tetapi juga diperlukan sumber daya manusia yang mempunyai latar belakang pendidikan non formal (tabel 2).

Tabel 2. Tantangan pendidikan non Formal

(Sumber Data: Direktorat Tenaga Kependidikan, 2004)

 
2.2.4 Penyesuaian Pendidikan Indonesia di Era Globalisasi

Dari tulisan di atas, kita bisa menyimpulkan, pertama, bahwa dalam berbagai takaran dan ukuran dunia pendidikan kita belum siap menghadapi globalisasi. Belum siap tidak berarti bangsa kita akan hanyut begitu saja dalam arus global tersebut. Kita harus menyadari bahwa Indonesia masih dalam masa transisi dan memiliki potensi yang sangat besar untuk memainkan peran dalam globalisasi khususnya pada konteks regional. Inilah salah satu tantangan dunia pendidikan kita yaitu menghasilkan SDM yang kompetitif dan tangguh. Kedua, dunia pendidikan kita menghadapi banyak kendala dan tantangan. Namun dari uraian di atas, kita optimis bahwa masih ada peluang.

Ketiga, alternatif yang ditawarkan di sini adalah penguatan fungsi keluarga dalam pendidikan anak dengan penekanan pada pendidikan informal sebagai bagian dari pendidikan formal anak di sekolah. Kesadaran yang tumbuh bahwa keluarga memainkan peranan yang sangat penting dalam pendidikan anak akan membuat kita lebih hati-hati untuk tidak mudah melemparkan kesalahan dunia pendidikan nasional kepada otoritas dan sektor-sektor lain dalam masyarakat, karena mendidik itu ternyata tidak mudah dan harus lintas sektoral. Semakin besar kuantitas individu dan keluarga yang menyadari urgensi peranan keluarga ini, kemudian mereka membentuk jaringan yang lebih luas untuk membangun sinergi, maka semakin cepat tumbuhnya kesadaran kompetitif di tengah-tengah bangsa kita sehingga mampu bersaing di atas gelombang globalisasi ini.

Yang dibutuhkan Indonesia sekarang ini adalah visioning, repositioning strategy, dan leadership. Tanpa itu semua, kita tidak akan pernah beranjak dari transformasi yang terus berputar-putar. Dengan visi jelas, tahapan-tahapan yang juga jelas, dan komitmen semua pihak serta kepemimpinan yang kuat untuk mencapai itu, tahun 2020 bukan tidak mungkin Indonesia juga bisa bangkit kembali menjadi bangsa yang lebih bermartabat dan jaya sebagai pemenang dalam globalisasi.

 
 
 
 
 
 
BAB III
PENUTUP
 
3.1 Kesimpulan
      Perkembangan dunia pendidikan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perkembangan globalisasi, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Era pasar bebas juga merupakan tantangan bagi dunia pendidikan Indonesia, karena terbuka peluang lembaga pendidikan dan tenaga pendidik dari mancanegara masuk ke Indonesia. Untuk menghadapi pasar global maka kebijakan pendidikan nasional harus dapat meningkatkan mutu pendidikan, baik akademik maupun non-akademik, dan memperbaiki manajemen pendidikan agar lebih produktif dan efisien serta memberikan akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan. 
      Paling tidak, ada tiga dampak globalisasi yang akan terjadi dalam dunia pendidikan. Pertama, dunia pendidikan akan menjadi objek komoditas dan komersil seiring dengan kuatnya hembusan paham neoliberalisme yang melanda dunia. Kedua, mulai longgarnya kekuatan kontrol pendidikan oleh negara. Ketiga, globalisasi akan mendorong delokasi dan perubahan teknologi dan orientasi pendidikan. 
      Diakui atau tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini adalah sistem pendidikan yang sekular-materialstik. Hal ini dapat terlihat antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang, dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi : Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, kagamaan, dan khusus dari pasal ini tampak jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum.

Cara penyesuaian pendidikan Indonesia di era globalisasi sekarang ini adalah visioning, repositioning strategy, dan leadership. Tanpa itu semua, kita tidak akan pernah beranjak dari transformasi yang terus berputar-putar. Dengan visi jelas, tahapan-tahapan yang juga jelas, dan komitmen semua pihak serta kepemimpinan yang kuat untuk mencapai itu, tahun 2020 bukan tidak mungkin Indonesia juga bisa bangkit kembali menjadi bangsa yang lebih bermartabat dan jaya sebagai pemenang dalam globalisasi.

 
3.2 Kritik dan Saran
      Penulis menyarankan kepada pemerintah untuk lebih meningkatkan mutu SDM yang berkualitas dan bermoral agar dapat lebih siap untuk menerima dampak positif maupun dampak negatif dari adanya globalisasi. Peningkatan mutu SDM bisa ditingkatkan melalui program pendidikan gratis bagi masyarakat yang kurang mampu.
      Hendaknya pemerintah juga lebih memperhatikan tentang dampak globalisasi, karena dampak globalisasi tidak hanya merugikan warga negaranya, akan tetapi hal itu juga dapat berimbas pada pemerintah sendiri.
 
 

DAFTAR RUJUKAN

Edison, A. Jamli, dkk. 2005. Kewarganegaraan. Malang: FIP UNIVERSITAS       NEGERIMALANG. 
Scholte, J. A. (2000). Globalization: A critical Introduction. London: Palgrave, hal. 15-17.
http://edukasi.kompas.com/read/xml/2009/07/27/(Online)
(18212767/otonomi pendidikan belum membawa perbaikan. diakses 12 Oktober 2009).
Achmad, Fandi. 2 Juni 2007. Korban Otonomi Pendidikan. Jawa Pos.
Majalah Al waie. No. 59 tahun V 1-31 Juli 2005. Dampak Globalisasi dalam Dunia Pendidikan di Indonesia. 
Kompas. 10 Mei 2005.
Mukhtar, Yanti. 10 Mei 2005. Privatisasi Pendidikan. Republika. 
R. Robertson (1992). Globalization: Social Theory and Global Culture. London: Sage Publications, hal. 8.
Kotter, P. (1955). The New Rules How to Succeed in Today's Post-Corporate World. New York: The Free Press, p. 42.
Jalal, Fasli. Reformasi Pendidikan, Dalam Konteks Otonomi Daerah. Penerbit Depdiknas-Bappenas-Adicita Karya Nusa
 

2 komentar:

  1. satu hal yang saya katakan untuk menjadikan dunia pendidikan kita lebih baik yaitu memanajemen pendidikan itu sendiri mulai dari tujuannnya memprosess sumberdaya di dalam dunia pendidikan

    BalasHapus